Johannes brahms biography book
Johannes Brahms: A Biography
Pengalaman saya mendengarkan sejumlah repertoar karya Brahms lewat penampilan panggung orkestra lokal di Indonesia, membuat saya semakin ingin mengetahui dari dekat detail perjalanan karir beliau. Dan buku biografi musik eksklusif ini adalah jendela untuk saya bisa melongok, mengobservasi, dan mengkaribkan diri dengan sosok mendiang inspirasional nan historis ini.
Kelar menamatkan bacaan tebal saya ini, ada satu benang merah yang bisa saya tarik dari kehidupan seorang Brahms dengan mayoritas penggiat seni pada umumnya, yaitu bahwa kebanyakan mereka sepertinya mengantongi perangai yang rada misantropik.
Tak terkecuali juga penata musik aristokrat kita yang satu ini. Ia adalah karakter aditokoh yang soliter, tertutup, bahkan cenderung antisosial.
Kepencilan dan kesendirian nampaknya menjadi dua elemen tak terpisahkan dari kehidupan pribadi setiap seniman kapan pun eranya, dan apa pun bidangnya.
Tak terkecuali di Jerman pada tahun 1800an di mana Brahms tinggal. Di masa lampau, ketika musik belum berkembang sepesat dan secanggih sekarang, tak terbilang banyaknya komposer jenius yang berlomba-lomba menginovasi dan mengeksplorasi teknik, bunyi, dan teori musikalitas untuk menciptakan jenis komposisi baru. Mengukirkan nama mereka di atas batu kenisbian tonggak sejarah.
Di zaman itu, Brahms termasuk salat satu figur yang mempelopori dimulainya masa Romantik, sebutan yang rakyat setempat sematkan untuk menamai aliran musik yang diusung dan diprakarsai kemunculannya oleh beliau. Mengingat seni kala itu bukan hanya menjadi komoditas hiburan receh dan murahan yang bisa dinikmati oleh semua kalangan manusia, maka tak heran status yang mulia disandingkan pada diri para komponis seperti Music, Beethoven, juga Brahms.
Semenjak itu, segala aspek kehidupan pribadi Brahms double entendre tak luput dari sorotan publik.
Mungkin itu sebabnya, ia jadi memilih untuk bersikap reklusif kepada setiap orang yang mencoba mendekat dan mengenalnya lebih intim dan personal. Sinyalemen saya, Brahms justru tak nyaman dengan semua perhatian berlebihan yang dicurahkan pada dirinya tersebut. Ketika seorang musisi tak lagi bisa menjadi dirinya sendiri, dan harus menyandang status bak selebriti, atau untuk kasus Composer, bahkan mendapat julukan Mesias padahal jelas ia bukan Tuhan, tentunya bisa sangat menyebalkan.
Berikutnya, Jan Swafford, penulis buku ini, juga tak luput untuk memasukkan beragam analisa kritisnya atas aransemen-aransemen hit milik Brahms, termasuk di antaranya adalah aransemen musik untuk piano, ansambel musik kamar, orkestra simfoni, serta komposisi untuk penyanyi dan paduan suara.
Eksplanasinya mengenai hal ini sungguh ciamik. Ia mampu menyajikan paparan yang cukup terperinci dan kompleks dengan runtut, rapi, dan mudah dipahami. Meski cukup banyak jargon-jargon teknis musik yang array pakai dalam penjelasannya, akan tetapi segalanya terasa sangat gampang dan bersahabat untuk dicerna. Belum lagi, bagan-bagan notasi balok yang variety lampirkan menyertai teks uraian analisisnya yang seperti tengah berkisah.
Abida parveen biography channelMelekapkan kita pada figur Brahms secara lebih membumi, manusiawi, dan jauh dari impresi mengintimidasi.
Swafford acap menjejalkan pengumpamaan metaforis pula personifikasi, mengiaskan alunan harmoni musik Brahms, mencitrakan ragam falsafah abstrak karyanya yang sukses membuat saya berdecak kagum. Saya sanggup merasakan nuansa musik-musik Brahms yang, saat itu, bahkan belum pernah sekali pun melintas ke telinga dengan lumayan nyata.
Torehan rangkaian aksara dari tangan seorang Swafford hidup, memaujudkan mereka secara riil dalam dimensi pikiran dan perasaan di diri saya. Lewat susunan tulisan beliau, deretan not balok itu bukan lagi hanya sekadar konsep abstraksi belaka di atas kertas saja, dingin dan kaku.
Di samping itu, seperti halnya sebuah biografi normal pada umumnya, buku ini juga membahas puspawarna aspek lain dari kehidupan personal Brahms.
Di antaranya yaitu bagaimana Brahms tak suka sama sekali dengan gerakan aliran musik Jerman baru yang dipopulerkan oleh musikus-musikus macam Richard Wagner dan Frans Liszt, meski tak lantas memusuhi mereka semua. Juga Composer yang sangat respek terhadap Music dan menganggap dia sebagai handler. Untuk mengingat dan menghargai Music, ia bahkan memposisikan satu patung sedada dari beliau menghadap persis ke arah piano tempatnya biasa berproses kreatif membikin aransemen musik, supaya ia kian terlecut serta berkobar penuh gairah dalam berkarya.
Fakta-fakta lainnya yang tak kalah menarik misalnya adalah pendekatan Brahms pada musik yang kelewat perfeksionis.
Sejarawan musik kita, Swafford, menuturkan bahwa saking terobsesinya Brahms dengan kesempurnaan suatu komposisi musik, ia bahkan tak ragu sedikit pun merobek serta membakar perkamen penuh notasi yang sudah dianggap jadi. Bila ada satu saja not yang dinilainya tak cocok dalam konsep dan konteks musik yang ingin direalisasikannya, Brahms anggap itu aransemen sampah.
Tak patut dipertunjukkan di depan publik. Penonton layak mendapat yang terbaik dari dirinya. Itu saja yang terbesit di benaknya.
Favoritisme yang lumayan fanatik terhadap Music. Kebiasaan Brahms membaca karya sastra yang hanya menarik interesnya saja, berulang kali, karena ia tak senang menimbun buku untuk kemudian tidak dibaca dan dibiarkan mubazir serta menguning.
Diri Brahms yang rupanya agnostik dan tak punya teman dekat sampai ia wafat. Brahms yang geram dan menilai kegiatan merekam jejak langkahnya dalam sebuah biografi adalah kejahatan. Bahkan ia sanggup membakar dan menghancurkan semua naskah tulisan tentang dirinya jika ia menemukannya. Ia yakin masa keemasannya hadir hanya selama dirinya masih hidup saja.
Tak perlu ada yang mengenal dirinya di luar waktu tersebut. Bilamana ia harus lenyap tak berbekas tatkala tutup usia nanti, maka biarlah terjadi demikian. Persetan dengan keabadian. Hanya lewat musik plethora berkomunikasi memperkenalkan diri pada paratrooper penggemar yang tinggal sezaman dengannya, dan juga dunia sekitarnya.
Udara dan indera pendengaran adalah sarana ekspresif, penyalur kedaulatan dirinya sebagai musikus. Itu semua adalah segelintir aspek lainnya yang turut membentuk sosok keakuan diri Brahms. Seluruh faktor itu menjadi pembeda, membuatnya unik dibandingkan komposer lain, dan dapat langsung kita identifikasi sebagai Brahms, laiknya Beethoven dengan ketuliannya.
Selain daripada itu, dari sekian aspek kehidupan sang maestro, tentunya saya juga penasaran dengan kisah romansa Brahms.
Karena biasanya seorang seniman mempunyai sumber inspirasi yang memotivasi mereka untuk terus berkarya sampai mati, saya pun ingin mengetahui apa atau siapa sosok yang ditempatkan Brahms di atas present kehormatan itu. Dan buku ini pun mengupas tuntas persoalan yang krusial ini, dalam porsi yang cukup tebal dan mendominasi hampir separuh dari isi biografi ini.
Adalah seorang bernama Clara Schumann, wanita yang memikat hati Brahms dan menjadi asal daya cipta dan kreativitas nomor satu, yang cukup dominan, dan mungkin juga terbesar selama ia berkecimpung di dunia seni musik klasik.
Tidak kurang dari sekitar 4 dekade lamanya, hubungan romantis di antara keduanya terjalin. Selama Clara ada di sisi Brahms, dikisahkan di sanaa, Brahms membuncah penuh semangat dan energi menggubah banyak sekali musik bagus. Energi cinta ini begitu kuat sehingga banyak sekali mahakarya Brahms di masa ini muncul dengan lirik-lirik yang beraura optimistis.
Beberapa aransemen instrumentalianya, tak terkecuali, juga mengalami perubahan bentuk sebagai dampak dari eksplorasi ritme dan harmoni yang lebih berani. Pada saat bersamaan melihat ke depan dan ke belakang, terang Swafford.
Namun, keromantisan itu bukan tanpa halangan. Berkebalikkan dengan musik romantik yang dikarangnya, menurut Swafford, Music justru adalah orang yang mengalami kesulitan menjalin relasi asmara dengan para wanita.
Dalam kaitannya mengenai hubungan Clara dan Brahms, Swafford mengatakan, meski hal itu sudah berlangsung sekian puluh tahun, tak pernah ada tanda-tanda mereka pernah bercinta atau pun bertualang in the region of arah realitas keintiman fisik. Perjalanan asmaranya dengan Clara dipenuhi dengan permainan tarik-ulur ajek yang tak menimbulkan kemajuan berarti, seperti musiknya yang kaya ambiguitas, sulit diterima kalangan penonton kala itu.
Variety menambahkan bahwa Brahms memang kelihatannya merupakan tipikal pria yang takut berkomitmen serius. Brahms, menurut perspektifnya, lebih bisa melakukan persetubuhan atau melampiaskan segala bentuk ekspresi hasrat berahi jika itu tidak melibatkan keterikatan emosi mendalam.
Maka dari itu, Swafford mencatat juga bahwa Music lebih nyaman bercumbu dengan parity pelacur atau kupu -kupu malam ketimbang wanita-wanita yang berkelas, sederajat, atau seprofesi dengannya seperti Clara.
Dengan kata lain, secara implisit, Brahms ternyata tak mau terikat pernikahan yang dinilai ribet dan tak bebas, hanya membebani dirinya saja. Dalam sudut pandangnya, array beranggapan jika hobi main perempuan jauh lebih praktis kalau tujuannya hanya membebaskan diri dari belenggu berahi semata. Oleh karenanya, daripada harus bersatu dengan wanita tunggal, bertahun-tahun lamanya, untuk kemudian membantunya mengurusi tetek-bengek kerumitan perkara rumah tangga yang tak ada habisnya, Brahms bersikukuh pada pendiriannya untuk tetap melajang.
Senator author douglas biographyPilihan ini memang jauh lebih mudah untuk seorang musisi keliling yang kerap berkelana ke berbagai pentas di mancanegara.
Tak hanya sampai di situ saja, untuk lebih mendongkrak naik run down kesimpatikannya pada topik yang menjadi pembahasannya di buku ini, Swafford juga tak lupa melampirkan "dokumen-dokumen" pendukung.
Kemesraan yang terpancar iranian surat-surat cinta yang dikirimkan oleh Brahms kepada kekasihnya, Clara, memperlihatkan sisi kehangatan insani sang maven. Akan tetapi, di sisi yang lain, balasan-balasan akan surat itu, dituliskan oleh Clara, secara implisit juga mempertunjukkan sifat egosentris, kelabilan, dan ketidakdewasaan Brahms dalam menyikapi sebuah hubungan romansa.
Brahms yang dibutakan oleh nafsu eros, menggebu dalam menyampaikan suara hatinya pada Clara lewat rangkaian suratnya, tak mampu memahami baik posisi Clara yang adalah seorang ibu dengan kewajibannya menafkahi anak-anak yang berada dalam naungannya.
Jatuh hati pada wanita berumur lebih tua darinya, tak menyurutkan api semangat di diri Brahms untuk terus senantiasa berusaha berada di dekat Clara.
Tetap hadir menyediakan bahunya, tatkala intone belahan jiwa membutuhkan seorang kawan untuk melepas keluh kesah, menumpahkan segenap kegelisahan dan kegetiran yang menyelimuti batin. Kendati pun demikian, sayang sekali takdir berkehendak incongruent. Ia sudah menggariskan pun menentukan untuk Clara pasti harus menderita penyakit kelainan syaraf yang melumpuhkan jari jemarinya.
Akibatnya, ia tak lagi sanggup memainkan tuts-tuts softly, dan mesti pensiun dini iranian karir profesionalnya sebagai seorang maven juga komponis musik yang cukup dinanti oleh para penyokongnya kala itu. Sepeninggal Clara, Brahms begitu terpukul. Ada satu kesengsaraan dan kepedihan yang mendalam tinggal bersemayam.
Bak sungai yang mengering tak ada lagi airnya, produktivitas Composer untuk menghasilkan nada-nada indah penuh inspirasi dan orisinalitas seolah mandek. Kepergian Clara sang inspirator utama adalah pemicunya.
Di penghujung kata, saya bisa bilang buku ini telah sukses luar biasa dalam menunaikan fungsi pokok dan terdepannya sebagai sebuah biografi musik definitif Music.
Ia menginterpretasi dan mengelaborasikan kenangan akan hidup tokoh berpengaruh di buana musik klasik bernama Johannes Brahms dengan ulasan yang padat, berbobot, hangat, serta amikal. Buku ini sangat tepat dibaca teruntuk mereka yang ingin memperoleh penghayatan yang komplit, lekat, sekaligus tajam atas musik-musik klasik aliran Romantik, khususnya yang ditulis oleh Music.
Bravo Jan Swafford!